Pagi itu, Kamis 2 Mei 2019, aku bangun untuk Subuh berjamaah dengan Mas Endik. Alhamdulillah semenjak menikah kami selalu mengamalkan sholat berjamaah 5 waktu, kecuali saat beraktivitas di luar rumah. Selepas Subuh, aku kembali tiduran akibat efek pusing semingguan.
Kaget! Waktu pertama lihat hasilnya. Aku kegirangan. Aku test pack pagi-pagi setelah bangun tidur. Dalam hitungan detik muncul dua garis merah yang menandakan positif. Sebenarnya karena masih antara yakin gak yakin, aku belum kasih tahu suamiku dulu. Aku malahan langsung whatsapp Mba Rifa. Alhamdulillah histori percakapan pukul 07.16 wib pagi yang merona itu masih tersimpan di histori whatsapp Mba Rifa, sehingga bisalah aku bagikan di sini.
"Mba, inikah. Apa ini artinya positif mba. Barusan nah. Betulkah Mba," pesanku kepada Mba Rifa yang didahului dengan mengirimkan foto hasil test pack pagi-pagi.
Saat itu aku yang tadinya masih di kamar mandi masuk ke kamar tidur yang letaknya saling berhadapan. Masih setengah percaya. Saat itu, aku betul-betul bahagia dan masih belum percaya kalau aku hamil.
"Ya ampun," batinku.
Aku akhirnya merasakan bagaimana rasanya menjadi ibu hamil. Benar-benar gak bisa diulang rasa senangnya saat pertama kali tau aku hamil. Sambil terus mengucapkan syukur Alhamdulillah, aku menunggu jawaban dari Mba Rifa yang akhirnya dijawab 22 menit kemudian.
Sembari menunggu jawaban, aku meletakkan hape dan kembali ke kamar mandi, memegang alat test pack dan memanggil suamiku tercinta, Mas Endik. Sambil sedikit berteriak.
"Saaaay. Garisnya merah dua nah say."
Tak lama suamiku datang mengarah ke depan pintu kamar mandi.
"Garisnya dua nah. Berati aku hamil. Nanti sore kita periksa ya say, di Antam (rumah sakit) aja. Pulang kerja, dekat."
"Alhamdulillaaah. Selamat isteriku," jawab suamiku dengan suara lembutnya sambil mencium pipi kiri dan kananku.
Itulah suamiku. Dalam keadaan apapun, ekspresinya tidak pernah berlebih. Mau senang, sedih, lagi ada uang, sampai butuh uang, dia selalu datar. Tapi aku tahu betapa mas Endik senang setelah mendengar kabar kehamilanku lewat dua garis merah di alat test pack yang aku beli dua hari lalu.
Senyum Pertama Bumil
Waktu hampir jam setengah delapan pagi, teringat bahwa sebentar lagi ruang rapat akan penuh dengan para produser dan korlip untuk menyusun proyeksi berita yang akan tayang di siang hari, Kabar Siang. Tak mau terlena, aku pun langsung bergegas mengenakan pakaian dan bersiap berangkat ke kantor. Beruntung jarak kantor dan rumahku cukup dekat, sekitar 2 km saja.
Rutinitas sehari-hari sebagai korlip dan presenter berita tetap berjalan seperti biasa. Ada Mas Fajar, tim streaming yang narikin gambar dari para kontributor daerah dan kontri internasional, ada Eggy dan mba Meni. Kedua perempuan cantik itu adalah bumil berhijab yang selalu berjaga pagi-pagi di lapaknya untuk ngarahin para reporter kemana saja hari itu.
Bagiku kerja di balik layar sangatlah menyenangkan. Walaupun ribetnya lumayan ampun tapi pekerjaan ini cukup menantang untuk dijalankan. Nah, yang bikin serunya lagi, jadi jurnalis itu pulang-pulang gak pernah bawa P-R seperti pegawai kantoran lainnya, yang mesti membawa sisa pekerjaan sampai ke rumah termasuk ngurusin laporan mingguan dan bulanan. Oh ya, laporan tahunan juga. Uhhhh...
Kulirik layar ponsel, waktu sudah mendekati jam 9 pagi, saatnya aku meninggalkan lapak sejenak dan bergeser ke ruang rias untuk siap-siap siaran Kabar Pasar Pagi. Masih ada waktu 30 menit untuk persiapan. Untungnya, aku jago dandan sendiri, gak lebih dari 10 menit semua selesai dari make up, tatanan rambut, sampai urusan baju dan sepatu. Tapi khusus rambut, aku serahkan pada tim penata rambut yang bertugas. Soalnya kalau semua ngurus sendiri, wahhh bisa repot.
Sebelum ke ruang make up, aku mampir ke lapak depan, lapaknya korlip Jakarta. Aku cerita ke Eggy dan mba Meni soal dua garis merah yang bikin pipiku merona seharian.
"Eh, tadi aku test pack loh," ceritaku pada Eggy dan mba Meni yang lagi duduk di lapak bersekat.
Eggy yang saat itu tengah hamil 6 bulan dan mba Meni yang tinggal menunggu waktu lahiran, sontak riang gembira.
"Ya Allah, Mbaaa. Positif?" tanya Eggy balik.
"Alhamdulillah. Garisnya dua. Nih fotonya," jawabku sembari memperlihatkan satu-satunya foto hasil test pack pagi tadi di ponselku.
"Ya ampun. Ini mah udah jelas banget merahnya. Eh kapan terakhir mens?" tanya mba Meni yang mulai kepo.
Sambil mengingat-ingat waktu terakhir aku haid, aku langsung menjawab.
"Seingatku ya, terakhir haid itu waktu aku cuti ke Kalimantan. Pertengahan Maret."
"Ya Allah, lama banget. Itu bisa lebih dari sebulan tuh. Coba ntar periksa," tegas mba Meni dengan ekspersi kagetnya yang sedikit heboh.
"Ini mah udah jelas banget merahnya. Kalau Dede waktu tu masih agak samar-samar," timpal mba Meni sambil melihat dug garis merah yang kuperlihatkan. Dede adalah juru kamera perempuan di kantorku yang juga tengah hamil bulan lalu.
Eh kapan terakhir mens?" Naluri jurnalis mba Meni langsung muncul meskipun yang ditanya sesama jurnalis. Jadilah pertanyaan pagi itu serasa tak ada ujungnya. Apalagi Eggy memberikan saran kepadaku untuk segera memastikan kehamilan versi test pack ke dokter kandungan.
"Ya udah aku mau make up dulu ya. Doain ya," ucapku sambil menjauhi lapak korlip yang selalu menegangkan 7 hari dalam seminggu, 24 jam.
Heboh! Se-News Room Tau
Kaget! Waktu pertama lihat hasilnya. Aku kegirangan. Aku test pack pagi-pagi setelah bangun tidur. Dalam hitungan detik muncul dua garis merah yang menandakan positif. Sebenarnya karena masih antara yakin gak yakin, aku belum kasih tahu suamiku dulu. Aku malahan langsung whatsapp Mba Rifa. Alhamdulillah histori percakapan pukul 07.16 wib pagi yang merona itu masih tersimpan di histori whatsapp Mba Rifa, sehingga bisalah aku bagikan di sini.
Hasil test pack kehamilan Dita yang pertama 2/5/19 |
Saat itu aku yang tadinya masih di kamar mandi masuk ke kamar tidur yang letaknya saling berhadapan. Masih setengah percaya. Saat itu, aku betul-betul bahagia dan masih belum percaya kalau aku hamil.
"Ya ampun," batinku.
Aku akhirnya merasakan bagaimana rasanya menjadi ibu hamil. Benar-benar gak bisa diulang rasa senangnya saat pertama kali tau aku hamil. Sambil terus mengucapkan syukur Alhamdulillah, aku menunggu jawaban dari Mba Rifa yang akhirnya dijawab 22 menit kemudian.
Sembari menunggu jawaban, aku meletakkan hape dan kembali ke kamar mandi, memegang alat test pack dan memanggil suamiku tercinta, Mas Endik. Sambil sedikit berteriak.
"Saaaay. Garisnya merah dua nah say."
Tak lama suamiku datang mengarah ke depan pintu kamar mandi.
"Garisnya dua nah. Berati aku hamil. Nanti sore kita periksa ya say, di Antam (rumah sakit) aja. Pulang kerja, dekat."
"Alhamdulillaaah. Selamat isteriku," jawab suamiku dengan suara lembutnya sambil mencium pipi kiri dan kananku.
Itulah suamiku. Dalam keadaan apapun, ekspresinya tidak pernah berlebih. Mau senang, sedih, lagi ada uang, sampai butuh uang, dia selalu datar. Tapi aku tahu betapa mas Endik senang setelah mendengar kabar kehamilanku lewat dua garis merah di alat test pack yang aku beli dua hari lalu.
Senyum Pertama Bumil
Waktu hampir jam setengah delapan pagi, teringat bahwa sebentar lagi ruang rapat akan penuh dengan para produser dan korlip untuk menyusun proyeksi berita yang akan tayang di siang hari, Kabar Siang. Tak mau terlena, aku pun langsung bergegas mengenakan pakaian dan bersiap berangkat ke kantor. Beruntung jarak kantor dan rumahku cukup dekat, sekitar 2 km saja.
Rutinitas sehari-hari sebagai korlip dan presenter berita tetap berjalan seperti biasa. Ada Mas Fajar, tim streaming yang narikin gambar dari para kontributor daerah dan kontri internasional, ada Eggy dan mba Meni. Kedua perempuan cantik itu adalah bumil berhijab yang selalu berjaga pagi-pagi di lapaknya untuk ngarahin para reporter kemana saja hari itu.
Bagiku kerja di balik layar sangatlah menyenangkan. Walaupun ribetnya lumayan ampun tapi pekerjaan ini cukup menantang untuk dijalankan. Nah, yang bikin serunya lagi, jadi jurnalis itu pulang-pulang gak pernah bawa P-R seperti pegawai kantoran lainnya, yang mesti membawa sisa pekerjaan sampai ke rumah termasuk ngurusin laporan mingguan dan bulanan. Oh ya, laporan tahunan juga. Uhhhh...
Kulirik layar ponsel, waktu sudah mendekati jam 9 pagi, saatnya aku meninggalkan lapak sejenak dan bergeser ke ruang rias untuk siap-siap siaran Kabar Pasar Pagi. Masih ada waktu 30 menit untuk persiapan. Untungnya, aku jago dandan sendiri, gak lebih dari 10 menit semua selesai dari make up, tatanan rambut, sampai urusan baju dan sepatu. Tapi khusus rambut, aku serahkan pada tim penata rambut yang bertugas. Soalnya kalau semua ngurus sendiri, wahhh bisa repot.
Sebelum ke ruang make up, aku mampir ke lapak depan, lapaknya korlip Jakarta. Aku cerita ke Eggy dan mba Meni soal dua garis merah yang bikin pipiku merona seharian.
"Eh, tadi aku test pack loh," ceritaku pada Eggy dan mba Meni yang lagi duduk di lapak bersekat.
Eggy yang saat itu tengah hamil 6 bulan dan mba Meni yang tinggal menunggu waktu lahiran, sontak riang gembira.
"Ya Allah, Mbaaa. Positif?" tanya Eggy balik.
"Alhamdulillah. Garisnya dua. Nih fotonya," jawabku sembari memperlihatkan satu-satunya foto hasil test pack pagi tadi di ponselku.
"Ya ampun. Ini mah udah jelas banget merahnya. Eh kapan terakhir mens?" tanya mba Meni yang mulai kepo.
Sambil mengingat-ingat waktu terakhir aku haid, aku langsung menjawab.
"Seingatku ya, terakhir haid itu waktu aku cuti ke Kalimantan. Pertengahan Maret."
"Ya Allah, lama banget. Itu bisa lebih dari sebulan tuh. Coba ntar periksa," tegas mba Meni dengan ekspersi kagetnya yang sedikit heboh.
"Ini mah udah jelas banget merahnya. Kalau Dede waktu tu masih agak samar-samar," timpal mba Meni sambil melihat dug garis merah yang kuperlihatkan. Dede adalah juru kamera perempuan di kantorku yang juga tengah hamil bulan lalu.
Eh kapan terakhir mens?" Naluri jurnalis mba Meni langsung muncul meskipun yang ditanya sesama jurnalis. Jadilah pertanyaan pagi itu serasa tak ada ujungnya. Apalagi Eggy memberikan saran kepadaku untuk segera memastikan kehamilan versi test pack ke dokter kandungan.
"Tar periksa ke dokter, Mba," celetuk Eggy, si bumil calon beranak tiga itu.
"Iya. Aku sama mas Endik nanti sore mau ke dokter yang biasa aku datengin. Di Antam aja. Aku soalnya sudah pernah periksa rahim dan pap smear di sana."
"Mudahan Mba ya," harap Eggy dan mba Meni bersamaan."Ya udah aku mau make up dulu ya. Doain ya," ucapku sambil menjauhi lapak korlip yang selalu menegangkan 7 hari dalam seminggu, 24 jam.
Dari kiri: Dede bumil 2 bulan, Eggy bumil 6 bulan, Dita baru test pack, mba Meni (9 bulan) |
Aku sengaja tidak mempublikasikan hasil test pack ke media sosial yang kupunya. Sebenarnya khawatir aja klo terlalu bahagia berlebih, eh akhirnya berujung sedih. Belum lagi balasin satu-satu komentar teman di media sosial. Aiihhh... aku bulat memutuskan untuk tidak membagikannya ke medsos seperti pasangan muda kekinian pada umumnya. Aku juga pesan ke mas Endik supaya tidak membagikannya ke medsos pribadinya. Dan kami sepakat untuk itu.
Hmmh... tapi tidak dengan seisi kantor. Pagi itu, selesai make up, aku ke ruang redaksi yang kami biasa sebut news room. Sebagai presenter aku wajib melihat rundown program acara yang akan kubawakan dan nge-print naskah. Ini wajib bagi program Kabar Pasar yang produsernya Maha Sempurna. Untuk saat ini belum aku ceritakan dulu ya soal sosok MS itu.
Sekitar 10 menit menjelang siaran, Koordinator Presenter lewat di sampingku. Kang Divi namanya. Langsung kusapa dan segera kuhampiri dalam jarak dua langkah untuk menyampaikan berita kehamilan versi test pack. Aku menduga bahwa berita ini cukup membuatnya tambah pusing karena jumlah presenter yang makin minim.
"Kang, aku hamil loh Kang. Tapi masih test pack, sore mau ke dokter."
Sebelum mengucapkan selamat, Kang Divi refleks memegang kening sebelah kirinya. Satu kebiasaan yang selalu muncul di saat dia tengah pusing 7 keliling.
"Alhamdulillaaah," ucapnya sambil tersenyum tulus.
"Kang kurangin ya jadwal siaran aku," pintaku berkali-kali.
Dengan aksen Sunda-nya itu ia mengiyakan permintaaku. "Ya udah. Nanti diatur."
Sekitar dua minggu yang lalu, aku sebenarnya sudah me-whatsapp Kang Divi secara pribadi untuk mengurangi jam siaran karena pekerjaan di belakang layar yang rasanya jauh lebih sibuk dan menyita waktu. Tapi, sayangnya belum ada tindakan yang berarti, sampai akhirnya kabar kehamilan versi test pack yang aku sampaikan mau tidak mau pada akhirnya merubah jadwal jam siaranku yang 10 kali dalam seminggu. Huuufffhh...
Aku menoleh ke arah kanan. Salah satu produser yang terkenal tegas itu menaikkan alisnya sedikit dan kepalanya bersamaan seolah ingin tahu apa yang tengah kami perbincangkan.
"Hamil mba."
"Hah, siapa?" tanyanya makin penasaran.
"Aku," sambil senyum.
"Alhamdulillaaaah," beberapa orang produser yang sedang duduk di meja masing-masing saling melirik ke arahku dan mengucapkan selamat sambil terburu-buru karena waktu siaran langsung semakin dekat.
"Selamat. Selamat, ya."
"Makasih, Mba. Makasih ya Mas. Doakan ya."
Kabar kehamilan versi test pack ini mau tidak mau memang harus diketahui orang kantor mulai Koordinator Presenter-ku, produser-ku, dan bosku di lapak Korlip. Kehamilan tentu akan mengurangi kinerja bagi seorang jurnalis, karena harus ekstra hati-hati menjaganya. Yaaa.. walaupun tetap sih gak bisa bermanja-manja, tapi minimal tahu bahwa ada di sini ada bumil yang sedang bekerja. He...he..
Satu per satu tahu, satu per satu menggenggam tangan, sebagian ada yang memeluk, dan ada yang menitikkan air mata, Mak Erna, perias senior yang dulu saat pernikahanku juga merias wajahku.
Ya, aku menunggu kabar ini 3,5 tahun. Mungkin waktu ini masih sebentar dibanding teman sekantor yang beda divisi dan tengah menunggu 8 tahun, 10 tahun baru hamil. Tentu akan lebih berat lagi tingkat kesabarannya.
Jalannya Kayak Putri Solo toh, Isteriku!
Sebelum namaku dipanggil oleh suster, aku diperiksa tensi darah dan diarahkan untuk timbang badan. Baru saja aku mau duduk di ruang tunggu Poli Ibu dan Anak, tiba-tiba seseorang memanggil.
"Yank."
Aku menoleh kaget. "Loh kok sudah di sini," sedikit kaget karena melihat suami yang tiba-tiba sudah muncul di depan mata.
"Ya tadi kan aku di depan ngeliat kamu masuk. Terus aku nyusulin."
"Oalaa... Yuk, kita duduk dulu, say."
"Jalannya pelan-pelan toh isteriku. Jangan cepat-cepat. Kan lagi hamil," ungkap suamiku sembari mengarah ke kursi panjang di ruang tunggu.
Aku memang janjian ke RS. Antam jam 4 sore. Aku berangkat dari kantor sepulang kerja, sementara suamiku berangkat dari rumah usai menuntaskan tulisannya.
"Laila Hajarul Aswadita." Giliran namaku dipanggil untuk masuk ke ruang pemeriksaan dr. Susanti Kusumo, SpOG.
Aku mengucapkan salam sebelum duduk. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab dokter Susanti yang melihat pasiennya ke arah pintu sambil tersenyum.
Di ruang kontrol, saat berhadapan dengan dokter aku sempat ditanyai kapan waktu terakhir menstruasi.
"Gini Dok, tadi pagi test pack, garis merahnya dua."
"O.. jadi sudah tes ya. Kapan terakhir mens?" tanya dokter Susanti.
"Hmmmm... Antara 15 sampai 17 Maret, Dok."
Tak banyak pertanyaan dari dokter cantik berhijab panjang yang berpraktik di RS. Antam ini. Sebenarnya aku sudah lama tahu kalau dokter Susanti kurang banyak bicara pada pasiennya, tapi ya pikirku mungkin saja karakternya memang pendiam. Sambil memperhatikan dokter yang menulis sandi-sandi di atas kertas putih, aku melirik suamiku yang masih sumringah. Aku menunggu sejenak, kemudian diarahkan dokter ke ruang Ultrasonography (USG) tepat di sebelah ruang kontrol pasien.
Ya. Kita USG dulu ya," ungkap dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan yang menerima kunjunganku sore itu.
Aku meminta suamiku masuk ke ruangan USG dan melihat proses pemeriksaan. Aku lihat dokter Susanti Kusumo menggangukan kepalanya sebagai kode kepada suster untuk memberikan gel di atas perutku. Aku berbisik dari jarak 20 meter dan meminta suamiku untuk merekam dan memfotoku saat diperiksa. Suamiku tampak gugup campur senang sore itu. Terlihat dari senyummnya yang mengembang malu-malu, mengarahkan ponselnya ke arah layar tv di pojok atas di hadapan tempat tidur pasien.
"Ya. Ini terlihat sudah ada kantongnya ya," kata dokter Susanti sambil mengarahkan wajahnya ke layar yang menempel di dinding paling atas ruangan. Sebenarnya sih aku tidak terlalu paham, karena warnanya yang hitam putih dan belum berbentuk. Tapi aku percaya, karena dokter pasti paling tahu apa yang ada di rahimku.
"Alhamdulillah," ucapku dengan senyum bahagia, sebahagianya pasangan yang betul-betul menantikan waktu ini.
"Sudah," kata dokter Susanti menyudahi pemeriksaannya.
Aku pun diarahkan untuk kembali ke kursi pasien dan menerima beberapa carik kertas, salah satunya foto hasil USG pertama yang disimpan ke dalam sebuah amlpop putih bertuliskan RS. Antam.
Dokter Susanti Kusumo juga memberikan resep obat multivitamin Folamil Genio untuk ditebus di farmasi beserta surat keterangan untuk kontrol kembali pada 13 Juni 2019, usai lebaran Idul Fitri.
" Usia kehamilannya sudah 6 minggu. Nanti kontrol lagi 13 Juni, ya. Soalnya kan lebaran."
"Alhamdulillah. Ya, Dok. Terimakasih."
Suamiku langsung bertanya soal napas yang terengah-engah beberapa hari belakangan.
"Napasnya sering pendek, Dok."
"Iya. Itu karena berbagi oksigen dengan janin yang ada dalam kandungan. Jadi gak papa."
"Ya. Terima kasih Dokter. Assalamualaikum."
Kami pun keluar ruangan dengan perasaan bahagia. Suamiku mengingatkan aku kembali agar berhati-hati saat melangkah. Suamiku paham benar, seberapa cepat ayunan langkahku saat berjalan yang tak kalah cepat dengan orang Jepang.
"Pelan-pelan isteriku. Jalannya kayak Putri Solo aja toh isteriku," pinta suamiku dengan nadanya yang rendah dan lembut khas suku Jawa.
Aku tersenyum dan mencubit pipi bulatnya.
"Ya, Pipiiiii," salah satu panggilan sayangku padanya, karena pipinya yang empuk, bulat, dan lebar. "Nih belajar jalan pelan kok."
Kami berjalan ke arah parkiran sambil berpegangan tangan mesra. Kehamilan usia 6 minggu memberikan warna baru bagi kami sepulang dari rumah sakit. Aku dan mas Endik membagikan cerita ini kepada keluarga di grup whastapp keluarga, salah satunya Keluarga Bahagia. Dina, saudara kembarku dan Bung Hilman ikut senang atas kabar kehamilanku. Dina merasa iri ingin hamil juga sepertiku. Suamiku menyarankan untuk menimati waktu sesaat dan menjauhkan diri dari ponsel beberapa hari. MasyaAllah, indahnya hari itu! Terimakasih, Ya Rabb. Dua garis merah merona pagi ini mencerahkan hari kami seperti pelangi. 💑
Hmmh... tapi tidak dengan seisi kantor. Pagi itu, selesai make up, aku ke ruang redaksi yang kami biasa sebut news room. Sebagai presenter aku wajib melihat rundown program acara yang akan kubawakan dan nge-print naskah. Ini wajib bagi program Kabar Pasar yang produsernya Maha Sempurna. Untuk saat ini belum aku ceritakan dulu ya soal sosok MS itu.
Sekitar 10 menit menjelang siaran, Koordinator Presenter lewat di sampingku. Kang Divi namanya. Langsung kusapa dan segera kuhampiri dalam jarak dua langkah untuk menyampaikan berita kehamilan versi test pack. Aku menduga bahwa berita ini cukup membuatnya tambah pusing karena jumlah presenter yang makin minim.
"Kang, aku hamil loh Kang. Tapi masih test pack, sore mau ke dokter."
Sebelum mengucapkan selamat, Kang Divi refleks memegang kening sebelah kirinya. Satu kebiasaan yang selalu muncul di saat dia tengah pusing 7 keliling.
"Alhamdulillaaah," ucapnya sambil tersenyum tulus.
"Kang kurangin ya jadwal siaran aku," pintaku berkali-kali.
Dengan aksen Sunda-nya itu ia mengiyakan permintaaku. "Ya udah. Nanti diatur."
Sekitar dua minggu yang lalu, aku sebenarnya sudah me-whatsapp Kang Divi secara pribadi untuk mengurangi jam siaran karena pekerjaan di belakang layar yang rasanya jauh lebih sibuk dan menyita waktu. Tapi, sayangnya belum ada tindakan yang berarti, sampai akhirnya kabar kehamilan versi test pack yang aku sampaikan mau tidak mau pada akhirnya merubah jadwal jam siaranku yang 10 kali dalam seminggu. Huuufffhh...
Aku menoleh ke arah kanan. Salah satu produser yang terkenal tegas itu menaikkan alisnya sedikit dan kepalanya bersamaan seolah ingin tahu apa yang tengah kami perbincangkan.
"Hamil mba."
"Hah, siapa?" tanyanya makin penasaran.
"Aku," sambil senyum.
"Alhamdulillaaaah," beberapa orang produser yang sedang duduk di meja masing-masing saling melirik ke arahku dan mengucapkan selamat sambil terburu-buru karena waktu siaran langsung semakin dekat.
"Selamat. Selamat, ya."
"Makasih, Mba. Makasih ya Mas. Doakan ya."
Kabar kehamilan versi test pack ini mau tidak mau memang harus diketahui orang kantor mulai Koordinator Presenter-ku, produser-ku, dan bosku di lapak Korlip. Kehamilan tentu akan mengurangi kinerja bagi seorang jurnalis, karena harus ekstra hati-hati menjaganya. Yaaa.. walaupun tetap sih gak bisa bermanja-manja, tapi minimal tahu bahwa ada di sini ada bumil yang sedang bekerja. He...he..
Satu per satu tahu, satu per satu menggenggam tangan, sebagian ada yang memeluk, dan ada yang menitikkan air mata, Mak Erna, perias senior yang dulu saat pernikahanku juga merias wajahku.
Ya, aku menunggu kabar ini 3,5 tahun. Mungkin waktu ini masih sebentar dibanding teman sekantor yang beda divisi dan tengah menunggu 8 tahun, 10 tahun baru hamil. Tentu akan lebih berat lagi tingkat kesabarannya.
Jalannya Kayak Putri Solo toh, Isteriku!
Sebelum namaku dipanggil oleh suster, aku diperiksa tensi darah dan diarahkan untuk timbang badan. Baru saja aku mau duduk di ruang tunggu Poli Ibu dan Anak, tiba-tiba seseorang memanggil.
"Yank."
Aku menoleh kaget. "Loh kok sudah di sini," sedikit kaget karena melihat suami yang tiba-tiba sudah muncul di depan mata.
"Ya tadi kan aku di depan ngeliat kamu masuk. Terus aku nyusulin."
"Oalaa... Yuk, kita duduk dulu, say."
"Jalannya pelan-pelan toh isteriku. Jangan cepat-cepat. Kan lagi hamil," ungkap suamiku sembari mengarah ke kursi panjang di ruang tunggu.
Aku memang janjian ke RS. Antam jam 4 sore. Aku berangkat dari kantor sepulang kerja, sementara suamiku berangkat dari rumah usai menuntaskan tulisannya.
"Laila Hajarul Aswadita." Giliran namaku dipanggil untuk masuk ke ruang pemeriksaan dr. Susanti Kusumo, SpOG.
Aku mengucapkan salam sebelum duduk. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab dokter Susanti yang melihat pasiennya ke arah pintu sambil tersenyum.
Di ruang kontrol, saat berhadapan dengan dokter aku sempat ditanyai kapan waktu terakhir menstruasi.
"Gini Dok, tadi pagi test pack, garis merahnya dua."
"O.. jadi sudah tes ya. Kapan terakhir mens?" tanya dokter Susanti.
"Hmmmm... Antara 15 sampai 17 Maret, Dok."
Tak banyak pertanyaan dari dokter cantik berhijab panjang yang berpraktik di RS. Antam ini. Sebenarnya aku sudah lama tahu kalau dokter Susanti kurang banyak bicara pada pasiennya, tapi ya pikirku mungkin saja karakternya memang pendiam. Sambil memperhatikan dokter yang menulis sandi-sandi di atas kertas putih, aku melirik suamiku yang masih sumringah. Aku menunggu sejenak, kemudian diarahkan dokter ke ruang Ultrasonography (USG) tepat di sebelah ruang kontrol pasien.
Ya. Kita USG dulu ya," ungkap dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan yang menerima kunjunganku sore itu.
"Ya. Ini terlihat sudah ada kantongnya ya," kata dokter Susanti sambil mengarahkan wajahnya ke layar yang menempel di dinding paling atas ruangan. Sebenarnya sih aku tidak terlalu paham, karena warnanya yang hitam putih dan belum berbentuk. Tapi aku percaya, karena dokter pasti paling tahu apa yang ada di rahimku.
"Alhamdulillah," ucapku dengan senyum bahagia, sebahagianya pasangan yang betul-betul menantikan waktu ini.
"Sudah," kata dokter Susanti menyudahi pemeriksaannya.
Aku pun diarahkan untuk kembali ke kursi pasien dan menerima beberapa carik kertas, salah satunya foto hasil USG pertama yang disimpan ke dalam sebuah amlpop putih bertuliskan RS. Antam.
Dokter Susanti Kusumo juga memberikan resep obat multivitamin Folamil Genio untuk ditebus di farmasi beserta surat keterangan untuk kontrol kembali pada 13 Juni 2019, usai lebaran Idul Fitri.
" Usia kehamilannya sudah 6 minggu. Nanti kontrol lagi 13 Juni, ya. Soalnya kan lebaran."
"Alhamdulillah. Ya, Dok. Terimakasih."
Suamiku langsung bertanya soal napas yang terengah-engah beberapa hari belakangan.
"Napasnya sering pendek, Dok."
"Iya. Itu karena berbagi oksigen dengan janin yang ada dalam kandungan. Jadi gak papa."
"Ya. Terima kasih Dokter. Assalamualaikum."
Kami pun keluar ruangan dengan perasaan bahagia. Suamiku mengingatkan aku kembali agar berhati-hati saat melangkah. Suamiku paham benar, seberapa cepat ayunan langkahku saat berjalan yang tak kalah cepat dengan orang Jepang.
"Pelan-pelan isteriku. Jalannya kayak Putri Solo aja toh isteriku," pinta suamiku dengan nadanya yang rendah dan lembut khas suku Jawa.
Aku tersenyum dan mencubit pipi bulatnya.
"Ya, Pipiiiii," salah satu panggilan sayangku padanya, karena pipinya yang empuk, bulat, dan lebar. "Nih belajar jalan pelan kok."
Kami berjalan ke arah parkiran sambil berpegangan tangan mesra. Kehamilan usia 6 minggu memberikan warna baru bagi kami sepulang dari rumah sakit. Aku dan mas Endik membagikan cerita ini kepada keluarga di grup whastapp keluarga, salah satunya Keluarga Bahagia. Dina, saudara kembarku dan Bung Hilman ikut senang atas kabar kehamilanku. Dina merasa iri ingin hamil juga sepertiku. Suamiku menyarankan untuk menimati waktu sesaat dan menjauhkan diri dari ponsel beberapa hari. MasyaAllah, indahnya hari itu! Terimakasih, Ya Rabb. Dua garis merah merona pagi ini mencerahkan hari kami seperti pelangi. 💑
Bumil Jadi Penyanyi Dadakan di Proyeknya Yovie Widianto & Eka Gustiwana
Posting Komentar untuk "Aku Hamil? #2 - Dua Garis Merah Merona"